lihat, cerita sebelumnya :)
” Menurut kamu, mimpi aku jadi seorang dokter itu mustahil ya?” ucap Sasti
lirih
Rico sedikit terkejut mendengar ucapan sahabatnya itu, tapi akhirnya Rico
menanggapi juga pertanyaan sahabatnya itu,
” Tidak, kau tidak cocok.” ucap Rico datar
” Hah? Huffh!! Iya ya, mungkin aku memang tidak cocok.” ucap Sasti kecewa
mendengar ucapan Rico sahabat, yang sangat Ia percaya itu.
” Iya, kamu cocoknya jadi istri aku aja!” ucap Rico
sambil membusungkan dada.
Sasti yang baru mengerti tentang situasinya hanya bisa meringis.
” Rico, aku serius!!” ucap Sasti lirih, menatap Rico yang tertawa karena
reaksinya tadi. Dipandang seperti itu sama Sasti membuat Rico segera sadar diri
dan bersikap lebih serius.
” Maaf, maaf, ya sudah sekarang kita serius. Memangnya kenapa kamu bicara
seperti itu? Hah?” ucap Rico sambil menatap Sasti yang duduk disampingnya.
” Fasti, dia ngomong ke Aku kalau nggak seharusnya aku mengambil jurusan
kedokteran karena aku anak IPS ditambah kami kan bukan orang kaya, jadi tak
akan sanggup membiayai kuliahku di jurusan kedokteran, kamu kan tahu kalau dia
dapat beasiswa.” cerita Sasti panjang lebar.
” Heh? Kamu nggak bilang kalau kamu bisa nyari beasiswa kayak dia?” tanya
Rico yang mulai mengerti duduk permasalahannya.
” Udah, tapi dia bilang, kalau pakai SPMB itu akan makan banyak biaya
sedangkan buat makan sama biaya sekolah aku saja kita harus kerja paruh waktu.”
” Ya, tapi tidak ada yang sulit kalau kamu mau berusaha dan menganggap hal
itu sesuatu yang mudah. Percaya deh!!” ucap Rico berapi –api.
” Fasti bener Ric, Fasti itu jenius tidak seperti aku yang dapat ranking 19
dikelas saja sudah Alhamdulillah.” ucap Sasti makin pelan.
” Sas . . . ” belum selesai Rico bicara tiba – tiba bel masuk sudah
berbunyi. Sasti langsung berdiri dari bangku taman dan menuju kelas mereka.
~~$$~~
Rico mengenal Sasti sejak SMP tapi mereka menjadi dekat saat mempunyai
kelas yang sama pada kelas 8, dan dari situ Rico tahu bahwa Sasti mempunyai
kembaran yang jenius yaitu Fasti. Fasti memang jenius saat mereka masih kelas 8
Fasti sudah duduk di kelas 11 karena selalu loncat kelas dari SD. Walaupun
Fasti selalu lebih dalam segala hal di banding Sasti, tapi Rico tahu bahwa
sahabatnya itu tak pernah merasa cemburu ataupun iri atas semua prestasi
ataupun pencapaian Fasti.
Bagi Sasti kebahagiaan Fasti adalah kebahagiaannya juga. Rico mengerti
bahwa keinginan Sasti yang ingin menjadi dokter dikarenakan Ia tak ingin
berpisah ataupun menjauh dari Fasti yang sekarang sudah mulai menjauh dan
berubah dari Fasti yang Ia kenal dulu. Rico tahu itu, dan disinilah sekarang
dia berdiri. Di sebuah yayasan, mencoba mencari beasiswa untuk Sasti, dengan
berbekal rapot serta catatan tentang prestasi Sasti. Tanpa sepengetahuan Sasti
sendiri Ia mencoba, mencari beasiswa untuk sahabatnya itu.
Rico masuk ke dalam gedung ber – AC itu dan berjalan menuju resepsionis,
bertanya dimana tempat Ia bisa mendaftarkan diri sebagai calon penerima
beasiswa. Resepsionis itu meminta Rico mengisi formulir dan menaruhnya kedalam
map yang disediakan, bersama catatan prestasi dari calon penerima beasiswa.
Saat mengumpulkan map itu ditempat yang ditujukan oleh si Resepsionis yang
ramah itu, Rico terkejut bukan main saat melihat tumpukan map yang menggunung.
Rico mencoba melihat map teratas dan ia pun langsung miris melihat catatan
prestasi dan nilai orang itu jika dibandingkan dengan milik Sasti. ”Aduh kalau kayak gini beneran mustahil-deh
gelar dokter buat Sasti huffhh, . . . Heh bangun Rico!! kalau kamu putus asa
siapa yang bakal kasih semangat buat Sasti dong? Saudaranya aja udah bikin
Sasti down masa aku harus ikut –
ikutan sih? Semangat Rico semangat!” Akhirnya Rico menaruh map itu di
urutan paling atas sambil membaca basmalah.
” Rico!!! Lama banget sih, ngapain aja didalam? Hah?” tanya Radit kakak Rico yang lebih tua 4 tahun
darinya. Radit memang terlihat berbeda dari Rico yang cenderung terlihat cuek
dalam berpenampilan cenderung berbalik 180° dengan Radit yang trendy dan
maskulin, dengan badan yang atletis, rambut berjambul dan mata yang tajam.
” Maaf kak, kan Ak . . .” belum selesai Rico bicara Radit sudah
memotongnya.
” Terserah, ayo cepat naik!”
Tanpa diperintah untuk kedua kalinya Rico pun segera naik ke jok belakang
motor Radit dan dalam sekali gas mereka berdua sudah tak terlihat dalam
pandangan. Soalnya knalpot motornya tebel banget, he he he . . .
~~$$~~
Fasti mencoba membuka beberapa catatan pasien di Puskesmas desa Pulung,
Sukabumi. Saat sedang membaca catatan itu tiba – tiba matanya menajam saat
melihat nama Dara Sastina, yang membuatnya teringat akan saudaranya Adriana
Fitri Sastiana, alias Sasti. Entah mengapa tiba – tiba Ia merasa rindu dengan
saudaranya itu, rindu dengan kecerobohan Sasti, tawanya yang renyah. Ia
tersenyum mengingat semua kekonyolan Sasti tapi tiba - tiba Ia tersadar bahwa tak sepantasnya Ia
merindukan Sasti.
Fasti hanya ingin Sasti memilih jalannya sendiri bukan mengikuti jejaknya
terus. Ia sudah senang saat melihat Sasti memilih jurusan IPS bukan IPA seperti
dirinya, karena Fasti pikir akhirnya anak itu punya jalannya sendiri bukan
seperti dirinya. Tapi harapan itu sia – sia saat tahu Sasti bermimpi menjadi
seorang dokter. Fasti tak mengerti jalan pikiran Sasti kalau dia memang ingin
menjadi seorang dokter maka seharusnya sejak awal Ia memilih IPA, tapi kenapa
Ia memilih IPS?
Sejak dulu Fasti dan Sasti memang selalu identik sampai akhirnya mereka
terpisah karena Fasti loncat kelas sedangkan Sasti tidak. Tapi hal itu tak
mengurangi kekompakan mereka sampai akhirnya Fasti mulai merasa muak dengan
sikap Sasti, yang selalu berusaha identik dengannya. Fasti sendiri berpikir
bahwa seharusnya mereka sudah saatnya berpisah dan memiliki kehidupan masing –
masing.
~~$$~~
Ujian nasional sudah selesai, saatnya sekarang buat anak kelas 12 untuk
memikirkan universitas dan fakultas mana tujuan mereka nanti.
Sasti sedang termenung di teras cafe tempat Ia bekerja. Cafenya sendiri
tutup lebih cepat pada pukul 15.00 tadi. Tapi entah kenapa ia enggan pulang,
toh dirumah tidak ada orang yang akan menunggunya atau ditunggunya. Ia tak
menyadari kedatangan Rico yang sekarang tinggal beberapa langkah darinya.
” Hai, ngelamun apa, sore – sore gini?” tanya Rico setelah duduk disebelah
Sasti, yang membuat Sasti terlonjak karena
tak menyadari kedatangan Rico dari tadi.
” Rico? Aku tidak sedang berhalusinasi kan? Sejak kapan kamu ada disini?”
tanya Sasti, bertubi – tubi yang bingung dengan kehadiran secara tiba – tiba.
” Neng, kalau tanya satu – satu ini, kenapa? Yah, salah sendiri kenapa dari tadi ngelamun. Sampai kedatangan aku aja,
kamu nggak sadar.”
“ Masih sore ini nggak papa dong, aku bing . . .”
” Ayo ikut aku!!” Rico bicara memotong ucapan Sasti dan menyeret anak itu
meninggalkan cafe yang sudah tutup sejak 1 jam yang lalu itu.
” Eit, tunggu! Kita mau kemana Ric?” tanya Sasti tergelak, kaget dengan
tarikan Rico yang tadi.
” Udah ayo naik, kau naik saja dulu.” Ucap Rico sambil memberikan helm pada
Sasti. Sasti tidak memberikan interupsi apapun lagi dan memilih untuk mengikuti
ucapan Rico saja.
Rumah Rico memang tak terlalu besar tapi rumah ini jauh lebih baik jika
dibanding kan dengan rumah si kembar Fasti – Sasti. Rumah dengan gaya minimalis
modern yang baru saja dirombak beberapa bulan sebelumnya ini, memang tampak
lebih indah karena ada sentuhan seorang Tante Rina, Ibu Rico yang merawat rumah
ini. Berbeda dengan Rumah Fasti – Sasti
yang mereka sendiri saja tak pernah tersentuh tangan seorang Ibu sejak usia 5
tahun apalagi rumah mereka setelah selama itu.
Fasti – Sasti memang mempunyai Ayah tapi beliau telah meninggal sejak
mereka berusia 11 tahun dan sejak itu mereka harus berjuang sendiri untuk hidup
dan sekolah. Mungkin karena itu Fasti jadi bersikap pesimis dan lebih dingin
dalam menghadapi dunia. Baik kita kembali ke cerita.
” Untuk apa kita disini? Ini kan, rumah kamu Ric,” tanya Sasti bingung
” Udah, jangan banyak tanya ayo ikut!” ucap Rico sambil menarik Sasti masuk
ke dalam rumah. Didalam rumah, sudah ada Kak Radit yang memang menunggu mereka
dari tadi. Sasti sedikit terkejut dengan kehadiran cowok berjambul itu diruang
keluarga, wajahnya bersemu merah saat mata Sasti dan Kak Radit saling
bertabrakan. Rico tahu itu, ada sedikit nyeri di dadanya tapi tak
dihiraukannya.
” Nih, Sasti kak! Selamat belajar Sasti,” ucap Rico pada Sasti berpaling
pada Kak Radit. Dan meninggalkan mereka berdua.
” Hah? Tapi Ric.. . .” belum selesai Sasti bicara, Kak Radit sudah
memotongnya dan memintanya untuk duduk.
Dan sejak itu setiap selesai kerja Sasti sudah dijemput Rico untuk belajar
bersama kakaknya. Sejak itu Sasti semakin mengerti tentang dunia IPA dari kak
Radit yang memang dulu mengambil jurusan IPA saat SMA. Sementara Sasti belajar
dengan orang yang Sasti suka dari dulu. Rico mencari Yayasan yang mau
memberikan beasiswa pada Sasti dengan semua catatan prestasi yang memang tidak
terlalu bagus.
Sebulan sudah berlalu hari ini adalah hari dimana semua pelajar SMA kelas
tiga harus berkutat kembali dengan ujian setelah sebelumnya UN sekarang mereka
harus berusaha dalam SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Rico dan Sasti
mendaftar di Universitas yang sama walaupun berbeda Fakultas karena Rico lebih
memilih Fakultas Tekhnik Mesin.
” Tegang Sas, tadi?” tanya Rico saat mereka janji ketemuan di cafe tempat
Sasti kerja.
” Iya sih, tapi karena sebulan ini sudah belajar sama Kak Radit aku jadi
gak terlalu kesulitan deh. Kenapa sih kau tidak ikut belajar kan kita bisa
belajar bertiga?”
” Nggak, buat apa? Oh iya, Fasti udah balik dari Sukabumi?”
” Belum, aku bingung gimana kalu dia tahu aku tetap memilih Kedokteran?”
” Tenang aja, kan belum tentu kamu diterima.” ucap Rico datar, menggoda Sasti.
” Tenang aja, kan belum tentu kamu diterima.” ucap Rico datar, menggoda Sasti.
” Hah? Uh, payah!”
” Ya udah, kerja sana. Udah sore aku mau pulang.” Ucap Rico, dan melangkah
pergi.
Tidak terasa sudah tiga hari Sasti mengikuti Tes SPMB, dia sedang menuju
tempat kerjanya saat melihat Fasti terlihat sedang berbicara dengan pegawai
cafe. Dia mengurungkan niatnya untuk kesana. Tapi saat akan berbalik ada tangan
yang mencekalnya dan saat berbalik Ia mendapati Fasti sedang menatapnya tajam
dan dibelakang Fasti Rico sedang berdiri menyender pada tembok,
” Aku dengar kau memilih fakultas kedokteran?” tanya Fasti datar.
” I . . iy . . .iya Fas,” Jawab Sasti tergagap karena takut kemarahan
saudaranya itu dan benar saja dugaan Sasti,
” Apa? Aku tak mengerti dengan jalan pikiran kamu Sas???” tanya Fasti
mencoba menahan amarah.
” Kita sudah besar, sudah waktunya buat kita untuk memilih jalan kita
masing – masing Sas! Kau tahu menjadi seorang dokter bukanlah hal yang mudah
dilakukan oleh seorang IPS seperti kamu! Dan la . . ”
” Cukup! Tidak seharusnya kau bersikap seperti ini pada Sasti! Dia Cuma
ingin bersamamu itu saja, kenapa kau tak pernah mau mengerti itu?” Ucap Rico
dari tempatnya berdiri.
” Aku muak, dengan semua ini! Kenapa kau tak pernah mengerti? Aku tak ingin
bersamamu karena aku terlalu takut . . .
AH TERSERAH!!!!” ucap Fasti tertahan. Ia
langsung pergi dan tak menyadari saat sebuah motor melaju cukup kencang
kearahnya dan BRAKKK, motor itu melesat sedang Fasti tergeletak di pinggir
jalan dengan berlumuran darah. Sasti panik Ia langsung menangis histeris
meminta pertolongan sambil memeluk kembarannya itu.
Sasti melihat Fasti sedang ditangani di UGD saat Rico dan Kak Radit masuk
ke runag tunggu.
” Bagaimana keadaannya, Sas?” Tanya Kak Radit matanya kosong menatap
ruangan tempat Fasti ditangani, matanya kelam terlihat kesedihan yang sangat
dalam.
” Sas, kamu minum dulu ya? Ayo duduk.” ajak Rico pelan sambil menyodorkan
segelah teh hangat dan mengajaknya duduk. Tapi Sasti malah menapik teh yang
diberikan oleh Rico. Radit terperangah dengan kejadian itu tapi Rico jauh lebih
terpukul dari Radit. Ia tertegun menatap mata Sasti yang kelam dan terlihat
kebencian disana. Rico takut.
” Ada apa, Sas? Ke . .ke . .kenapa?”
ucap Rico gugup.
” Ini semua adalah salahmu.” Ucap Sasti bergetar mencobs menahan amarah.
” A . .a . .apa?”
” Kau tahu Ric, SEHARUSNYA AKU TAK MENGIKUTI SEMUA YANG KAU KATAKAN.
Seharusnya aku tak pernah bermimpi menjadi seorang dokter, seharusnya aku tak
pernah belajar bersama Kak Radit.”
” Tapi ka . . ”
PLAKK, sebuah tamparan keras mendarat dipipi kiri Rico.
” Dia saudaraku satu – satunya Ric, dan seharusnya Ia tak terbaring disana.
Dan aku memang tak pantas menjadi seorang dokter, aku IPS, miskin, bodoh, lalu
apa yang aku miliki?” tanya Sasti menggantung
” Hanya dia yang aku miliki.” Jawab Sasti sambil menunujuk ruangan tempat
Fasti ditangani.
” Sekarang. PERGI!! PERGI DARI SINI!!” usir Sasti yang terlihat tak main –
main. Radit yang dari tadi diam saja mencoba menenangkan Sasti dan meminta Rico
pergi dengan isyarat matanya.
~~$$~~
5 Tahun
kemudian . . .
” Aduh Sas,
kamu itu bodoh atau gimana sih? Masa kuis kayak gini aja, kamu cuma dapat C?”
tanya Fasti heran pada kembarannya itu.
” Mau gimana
lagi, emang dapatnya segitu kok!” jawab Sasti lemah
” Kalu kayak
gini, bisa – bisa kamu nggak lulus - lulus.” Hardik Fasti
” Udah nggak
salah Sasti dong, Sasti kan sudah berusaha.” Ucap Radit membela Sasti. Sasti
tersenyum karena merasa dibela.
” Kau itu
selalu membelanya!!”
” Aku kan
cuma . . . ”
” Cari muka?” tanya
Fasti retoris
” He he he . . .” Radit salah tingkah, mendapat serangan seperti itu.
“ Ya sudah , ayo kita pergi. Biarin Sasti belajar.” Ajak Fasti dan
menekankan kalimat terakhir sambil melotot pada Sasti.
Lima tahun berlalu dan semuanya sudah berubah. Dulu Sasti kira Ia tak akan
pernah bisa menjadi seorang mahasiswa kedokteran tapi lihat dimana dia sekarang
Ia menjadi salah satu mahasiswa di salah satu Universitas ternama di Indonesia.
Yah, walaupun sempat menunda kuliah selama setahun untuk mencari beasiswa tapi
itu tak jadi soal karena Sasti mendapat dukungan penuh dari kembarannya Fasti.
Setelah kecelakaan itu Fasti sadar bahwa tak seharusnya Ia bersikap seperti
itu pada Sasti. Toh Ia juga sebenarnya tak ingin bersama Sasti karena Ia takut
akan mengalami sesuatu yang lebih sakit jika statu hari mereka akan berpisah. Dan
sekarang Fasti bekerja di Rumah Sakit ternama di kota itu
Ternyata Radit adalah teman kuliah Fasti dan sejak pertama kali melihat
Fasti di kampus Ia sudah menaruh hati pada gadis itu, tapi Fasti tetap dingin
padanya. Radit tahu bahwa ternyata Fasti itu kembar dan kembarannya adalah
Sasti sahabat Rico. Karena itu Radit mau membantu Sasti belajar, cari muka gitu
maksudnya.
Sasti tahu dari Radit beberapa bulan yang lalu, kalau ternyata beasiswa
yang ia dapatkan 4 tahun yang lalu ternyata dari usaha Rico. Dan saat Sasti
mengusir Rico dirumah sakit sebenarnya Rico sedang sakit, dan Rico datang ke
cafe siang itu untuk menjelaskan semuanya pada Fasti tapi dia terlambat. Dan
ketika Sasti mengusirnya keadaan Rico jadi jauh lebih parah selama seminggu dia
tak bisa bangun dari tempat tidur, “ Dia cinta sama kamu sejak dulu. Dia berusaha
keras mencari beasiswa agar kamu bisa meraih mimpimu, Ia tak pernah tahu kata
menyerah kalau menyangkut soal kamu. Dia terluka saat melihat kedekatan kamu
dengan Radit, tapi Ia tak berbuat apa – apa karena kamu bahagia. Dia cuma ingin
melihat kamu tersenyum, Ia tak pernah berharap balasan cinta dari kamu, Sas.
Tapi kalau Tante boleh minta, maafkan dia. Dia hanya mencintai kamu dengan cara
yang Ia pikir benar.” Kata – kata
Tante Rina selalu terngiang dikepalanya.
Sasti memang berpikir Ia menyukai Kak Radit, tapi saat Rico pergi dari hidupnya.
Ia sadar Rico-lah yang Ia cintai. Ia kesepian saat tak mendengar suara Rico, Ia
diam saat tak melihat senyum Rico, Ia sendiri saat tak bersama Rico. Rico pergi
ke Yogyakarta untuk kuliah di UGM jurusa tekhnik mesin dan 1 tahun yang lalu Ia
pergi ke Jepang untuk bekerja setelah mendapat rekomendasi dari pihak kampus.
Sasti terlambat ke bandara dan baru tahun depan Rico kembali lagi.
Ia memeluk lututnya dan menangis dalam diam menyesali kebodohannya,
“ Dulu bengong, sekarang hobinya nangis.” Ucap sebuah suara yang sangat ia
kenal di depannya. “ Rico bahkan sekarang
aku bisa mendengar suaramu, aku merindukanmu . . tapi tunggu . .” Sasti
langsung mengangkat kepalanya dan mendapati cowok kerempeng yang Ia kenal dulu
sedang duduk didepannya dan tersenyum padanya.
“ Rico, itu kamu?” Tanya Sasti tertahan,
“ Ya iyalah, masa hantu! Nggak dipeluk niy?”
Sasti tersenyum. Dia melihat cowok
didepannya. “ Rico kamu nggak tahu,
seberapa besar peran kamu dalam hidupku, Kau membuatku berani bermimpi dan kau
juga memberiku cara merain mimpi ini. Rico makasih, terima kasihuntuk semuanya
. Dan jangan ninggalin aku lagi,” Ucapnya dalam hati sembari mendengarkan
cerita Rico tentang Jepang.
“ Ai shi teru.” Ucapku singkat
tapi mampu membuat cowok didepanku ini terpaku tak bergerak dan memandangku
kaget. Aku tersenyum.
“Ok, ucapan itu terasa jauh lebih baik dari sebuah pelukan.”
Teman jangan pernah takut bermimpi, walaupun mustahil percayalah kamu bisa.
Dan . . . percayalah Tuhan tahu mana umatnya yang punya tekad kuat dan usaha
yang keras.☺
Tidak ada komentar:
Posting Komentar