Rabu, 27 Maret 2013

nulis vs nilai

nulis itu butuh feel
kalau nggak ada feel, maka nggak akan ada tulisan yang dihasilin

tapi kalian tahu
hal ini berlaku buat fiksi ya..
kalau buat tugas jangan nanya meski nggak ada hasrat sama sekali
tuh tugas tetep bakalan jadi kok...

dan ini dikerjain tanpa feel ya...
cuma motivasi, motivasi buat dapet nilai
he he he

Selasa, 19 Maret 2013

Lebih sakit



Aku tidak tahu apa yang akan terjadi
tapi apa yang akan terjadi biarlah itu menjadi misteri
aku tak pernah sadar bahwa ada hal yang lebih menyakitkan

lebih menyakitkan dari melepasmu
lebih menyakitkan dari meninggalkanmu
lebih menyakitkan dari hanya melihatmu
lebih menyakitkan dari kau khianati

Aku sadar hal yang paling menyakitkan untukku
adalah mencintaimu...

Jawab Aku

Siapa aku dimatamu?
Aku itu Apa dimatamu?
Bagaimana aku dimatamu?
Dimana aku dimatamu?

Aku tak terlihat
Aku tak pernah ada
Aku tak pernah kau dengar

orang bilang padaku kau begitu
tapi aku masih percaya padamu
orang mulai berteriak aku bodoh 
tapi aku dengan, kebodohanku masih percaya padamu
orang mulai jengkel dan meninggalkanku
tapi aku sadar, disini cukup ada kau

Namun aku mulai berpikir
Apakah semua rasa sakit ini adalah hal yang lumrah?
Apakah mencintaimu memang akan menimbulkan sakit seperti ini?
Aku mulai bertanya
Apakah semua ini memang jalan yang benar?
Hei, apa kau mau menjawabnya?



Selasa, 12 Maret 2013

" Aku bisa....Fast" part 2 (end)


lihat, cerita sebelumnya :)


” Menurut kamu, mimpi aku jadi seorang dokter itu mustahil ya?” ucap Sasti lirih
Rico sedikit terkejut mendengar ucapan sahabatnya itu, tapi akhirnya Rico menanggapi juga pertanyaan sahabatnya itu,
” Tidak, kau tidak cocok.” ucap Rico datar
” Hah? Huffh!! Iya ya, mungkin aku memang tidak cocok.” ucap Sasti kecewa mendengar ucapan Rico sahabat, yang sangat Ia percaya itu.
” Iya, kamu cocoknya jadi istri aku aja!” ucap Rico sambil membusungkan dada.
Sasti yang baru mengerti tentang situasinya hanya bisa meringis.
” Rico, aku serius!!” ucap Sasti lirih, menatap Rico yang tertawa karena reaksinya tadi. Dipandang seperti itu sama Sasti membuat Rico segera sadar diri dan bersikap lebih serius.
” Maaf, maaf, ya sudah sekarang kita serius. Memangnya kenapa kamu bicara seperti itu? Hah?” ucap Rico sambil menatap Sasti yang duduk disampingnya.
” Fasti, dia ngomong ke Aku kalau nggak seharusnya aku mengambil jurusan kedokteran karena aku anak IPS ditambah kami kan bukan orang kaya, jadi tak akan sanggup membiayai kuliahku di jurusan kedokteran, kamu kan tahu kalau dia dapat beasiswa.” cerita Sasti panjang lebar.
” Heh? Kamu nggak bilang kalau kamu bisa nyari beasiswa kayak dia?” tanya Rico yang mulai mengerti duduk permasalahannya.
” Udah, tapi dia bilang, kalau pakai SPMB itu akan makan banyak biaya sedangkan buat makan sama biaya sekolah aku saja kita harus kerja paruh waktu.”
” Ya, tapi tidak ada yang sulit kalau kamu mau berusaha dan menganggap hal itu sesuatu yang mudah. Percaya deh!!” ucap Rico berapi –api.
” Fasti bener Ric, Fasti itu jenius tidak seperti aku yang dapat ranking 19 dikelas saja sudah Alhamdulillah.” ucap Sasti makin pelan.
” Sas . . . ” belum selesai Rico bicara tiba – tiba bel masuk sudah berbunyi. Sasti langsung berdiri dari bangku taman dan menuju kelas mereka.

~~$$~~

Rico mengenal Sasti sejak SMP tapi mereka menjadi dekat saat mempunyai kelas yang sama pada kelas 8, dan dari situ Rico tahu bahwa Sasti mempunyai kembaran yang jenius yaitu Fasti. Fasti memang jenius saat mereka masih kelas 8 Fasti sudah duduk di kelas 11 karena selalu loncat kelas dari SD. Walaupun Fasti selalu lebih dalam segala hal di banding Sasti, tapi Rico tahu bahwa sahabatnya itu tak pernah merasa cemburu ataupun iri atas semua prestasi ataupun pencapaian Fasti.
Bagi Sasti kebahagiaan Fasti adalah kebahagiaannya juga. Rico mengerti bahwa keinginan Sasti yang ingin menjadi dokter dikarenakan Ia tak ingin berpisah ataupun menjauh dari Fasti yang sekarang sudah mulai menjauh dan berubah dari Fasti yang Ia kenal dulu. Rico tahu itu, dan disinilah sekarang dia berdiri. Di sebuah yayasan, mencoba mencari beasiswa untuk Sasti, dengan berbekal rapot serta catatan tentang prestasi Sasti. Tanpa sepengetahuan Sasti sendiri Ia mencoba, mencari beasiswa untuk sahabatnya itu.
Rico masuk ke dalam gedung ber – AC itu dan berjalan menuju resepsionis, bertanya dimana tempat Ia bisa mendaftarkan diri sebagai calon penerima beasiswa. Resepsionis itu meminta Rico mengisi formulir dan menaruhnya kedalam map yang disediakan, bersama catatan prestasi dari calon penerima beasiswa. Saat mengumpulkan map itu ditempat yang ditujukan oleh si Resepsionis yang ramah itu, Rico terkejut bukan main saat melihat tumpukan map  yang menggunung.
Rico mencoba melihat map teratas dan ia pun langsung miris melihat catatan prestasi dan nilai orang itu jika dibandingkan dengan milik Sasti. ”Aduh kalau kayak gini beneran mustahil-deh gelar dokter buat Sasti huffhh, . . . Heh bangun Rico!! kalau kamu putus asa siapa yang bakal kasih semangat buat Sasti dong? Saudaranya aja udah bikin Sasti down masa aku harus ikut – ikutan sih? Semangat Rico semangat!” Akhirnya Rico menaruh map itu di urutan paling atas sambil membaca basmalah.
” Rico!!! Lama banget sih, ngapain aja didalam? Hah?” tanya Radit kakak Rico yang lebih tua 4 tahun darinya. Radit memang terlihat berbeda dari Rico yang cenderung terlihat cuek dalam berpenampilan cenderung berbalik 180° dengan Radit yang trendy dan maskulin, dengan badan yang atletis, rambut berjambul dan mata yang tajam.
” Maaf kak, kan Ak . . .” belum selesai Rico bicara Radit sudah memotongnya.
” Terserah, ayo cepat naik!”
Tanpa diperintah untuk kedua kalinya Rico pun segera naik ke jok belakang motor Radit dan dalam sekali gas mereka berdua sudah tak terlihat dalam pandangan. Soalnya knalpot motornya tebel banget, he he he . . .

~~$$~~

Fasti mencoba membuka beberapa catatan pasien di Puskesmas desa Pulung, Sukabumi. Saat sedang membaca catatan itu tiba – tiba matanya menajam saat melihat nama Dara Sastina, yang membuatnya teringat akan saudaranya Adriana Fitri Sastiana, alias Sasti. Entah mengapa tiba – tiba Ia merasa rindu dengan saudaranya itu, rindu dengan kecerobohan Sasti, tawanya yang renyah. Ia tersenyum mengingat semua kekonyolan Sasti tapi tiba -  tiba Ia tersadar bahwa tak sepantasnya Ia merindukan Sasti.
Fasti hanya ingin Sasti memilih jalannya sendiri bukan mengikuti jejaknya terus. Ia sudah senang saat melihat Sasti memilih jurusan IPS bukan IPA seperti dirinya, karena Fasti pikir akhirnya anak itu punya jalannya sendiri bukan seperti dirinya. Tapi harapan itu sia – sia saat tahu Sasti bermimpi menjadi seorang dokter. Fasti tak mengerti jalan pikiran Sasti kalau dia memang ingin menjadi seorang dokter maka seharusnya sejak awal Ia memilih IPA, tapi kenapa Ia memilih IPS?
Sejak dulu Fasti dan Sasti memang selalu identik sampai akhirnya mereka terpisah karena Fasti loncat kelas sedangkan Sasti tidak. Tapi hal itu tak mengurangi kekompakan mereka sampai akhirnya Fasti mulai merasa muak dengan sikap Sasti, yang selalu berusaha identik dengannya. Fasti sendiri berpikir bahwa seharusnya mereka sudah saatnya berpisah dan memiliki kehidupan masing – masing.

~~$$~~

Ujian nasional sudah selesai, saatnya sekarang buat anak kelas 12 untuk memikirkan universitas dan fakultas mana tujuan mereka nanti.
Sasti sedang termenung di teras cafe tempat Ia bekerja. Cafenya sendiri tutup lebih cepat pada pukul 15.00 tadi. Tapi entah kenapa ia enggan pulang, toh dirumah tidak ada orang yang akan menunggunya atau ditunggunya. Ia tak menyadari kedatangan Rico yang sekarang tinggal beberapa langkah darinya.
” Hai, ngelamun apa, sore – sore gini?” tanya Rico setelah duduk disebelah Sasti, yang membuat Sasti terlonjak  karena tak menyadari kedatangan Rico dari tadi.
” Rico? Aku tidak sedang berhalusinasi kan? Sejak kapan kamu ada disini?” tanya Sasti, bertubi – tubi yang bingung dengan kehadiran secara tiba – tiba.
” Neng, kalau tanya satu – satu ini, kenapa? Yah, salah sendiri kenapa dari tadi ngelamun. Sampai kedatangan aku aja, kamu nggak sadar.”
“ Masih sore ini nggak papa dong, aku bing . . .”
” Ayo ikut aku!!” Rico bicara memotong ucapan Sasti dan menyeret anak itu meninggalkan cafe yang sudah tutup sejak 1 jam yang lalu itu.
” Eit, tunggu! Kita mau kemana Ric?” tanya Sasti tergelak, kaget dengan tarikan Rico yang tadi.
” Udah ayo naik, kau naik saja dulu.” Ucap Rico sambil memberikan helm pada Sasti. Sasti tidak memberikan interupsi apapun lagi dan memilih untuk mengikuti ucapan Rico saja.


Rumah Rico memang tak terlalu besar tapi rumah ini jauh lebih baik jika dibanding kan dengan rumah si kembar Fasti – Sasti. Rumah dengan gaya minimalis modern yang baru saja dirombak beberapa bulan sebelumnya ini, memang tampak lebih indah karena ada sentuhan seorang Tante Rina, Ibu Rico yang merawat rumah ini. Berbeda dengan  Rumah Fasti – Sasti yang mereka sendiri saja tak pernah tersentuh tangan seorang Ibu sejak usia 5 tahun apalagi rumah mereka setelah selama itu.
Fasti – Sasti memang mempunyai Ayah tapi beliau telah meninggal sejak mereka berusia 11 tahun dan sejak itu mereka harus berjuang sendiri untuk hidup dan sekolah. Mungkin karena itu Fasti jadi bersikap pesimis dan lebih dingin dalam menghadapi dunia. Baik kita kembali ke cerita.
” Untuk apa kita disini? Ini kan, rumah kamu Ric,” tanya Sasti bingung
” Udah, jangan banyak tanya ayo ikut!” ucap Rico sambil menarik Sasti masuk ke dalam rumah. Didalam rumah, sudah ada Kak Radit yang memang menunggu mereka dari tadi. Sasti sedikit terkejut dengan kehadiran cowok berjambul itu diruang keluarga, wajahnya bersemu merah saat mata Sasti dan Kak Radit saling bertabrakan. Rico tahu itu, ada sedikit nyeri di dadanya tapi tak dihiraukannya.
” Nih, Sasti kak! Selamat belajar Sasti,” ucap Rico pada Sasti berpaling pada Kak Radit. Dan meninggalkan mereka berdua.
” Hah? Tapi Ric.. . .” belum selesai Sasti bicara, Kak Radit sudah memotongnya dan memintanya  untuk duduk. Dan sejak itu setiap selesai kerja Sasti sudah dijemput Rico untuk belajar bersama kakaknya. Sejak itu Sasti semakin mengerti tentang dunia IPA dari kak Radit yang memang dulu mengambil jurusan IPA saat SMA. Sementara Sasti belajar dengan orang yang Sasti suka dari dulu. Rico mencari Yayasan yang mau memberikan beasiswa pada Sasti dengan semua catatan prestasi yang memang tidak terlalu bagus.
Sebulan sudah berlalu hari ini adalah hari dimana semua pelajar SMA kelas tiga harus berkutat kembali dengan ujian setelah sebelumnya UN sekarang mereka harus berusaha dalam SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Rico dan Sasti mendaftar di Universitas yang sama walaupun berbeda Fakultas karena Rico lebih memilih Fakultas Tekhnik Mesin.
” Tegang Sas, tadi?” tanya Rico saat mereka janji ketemuan di cafe tempat Sasti kerja.
” Iya sih, tapi karena sebulan ini sudah belajar sama Kak Radit aku jadi gak terlalu kesulitan deh. Kenapa sih kau tidak ikut belajar kan kita bisa belajar bertiga?”
” Nggak, buat apa? Oh iya, Fasti udah balik dari Sukabumi?”
” Belum, aku bingung gimana kalu dia tahu aku tetap memilih Kedokteran?”
            ” Tenang aja, kan belum tentu kamu diterima.” ucap Rico datar, menggoda Sasti.
” Hah? Uh, payah!”
” Ya udah, kerja sana. Udah sore aku mau pulang.” Ucap Rico, dan melangkah pergi.
Tidak terasa sudah tiga hari Sasti mengikuti Tes SPMB, dia sedang menuju tempat kerjanya saat melihat Fasti terlihat sedang berbicara dengan pegawai cafe. Dia mengurungkan niatnya untuk kesana. Tapi saat akan berbalik ada tangan yang mencekalnya dan saat berbalik Ia mendapati Fasti sedang menatapnya tajam dan dibelakang Fasti Rico sedang berdiri menyender pada tembok,
” Aku dengar kau memilih fakultas kedokteran?” tanya Fasti datar.
” I . . iy . . .iya Fas,” Jawab Sasti tergagap karena takut kemarahan saudaranya itu dan benar saja dugaan Sasti,
” Apa? Aku tak mengerti dengan jalan pikiran kamu Sas???” tanya Fasti mencoba menahan amarah.
” Kita sudah besar, sudah waktunya buat kita untuk memilih jalan kita masing – masing Sas! Kau tahu menjadi seorang dokter bukanlah hal yang mudah dilakukan oleh seorang IPS seperti kamu! Dan la . . ”
” Cukup! Tidak seharusnya kau bersikap seperti ini pada Sasti! Dia Cuma ingin bersamamu itu saja, kenapa kau tak pernah mau mengerti itu?” Ucap Rico dari tempatnya berdiri.
” Aku muak, dengan semua ini! Kenapa kau tak pernah mengerti? Aku tak ingin bersamamu karena aku terlalu takut  . . . AH  TERSERAH!!!!” ucap Fasti tertahan. Ia langsung pergi dan tak menyadari saat sebuah motor melaju cukup kencang kearahnya dan BRAKKK, motor itu melesat sedang Fasti tergeletak di pinggir jalan dengan berlumuran darah. Sasti panik Ia langsung menangis histeris meminta pertolongan sambil memeluk kembarannya itu.

Sasti melihat Fasti sedang ditangani di UGD saat Rico dan Kak Radit masuk ke runag tunggu.
” Bagaimana keadaannya, Sas?” Tanya Kak Radit matanya kosong menatap ruangan tempat Fasti ditangani, matanya kelam terlihat kesedihan yang sangat dalam.
” Sas, kamu minum dulu ya? Ayo duduk.” ajak Rico pelan sambil menyodorkan segelah teh hangat dan mengajaknya duduk. Tapi Sasti malah menapik teh yang diberikan oleh Rico. Radit terperangah dengan kejadian itu tapi Rico jauh lebih terpukul dari Radit. Ia tertegun menatap mata Sasti yang kelam dan terlihat kebencian disana. Rico takut.
” Ada apa, Sas? Ke .  .ke . .kenapa?” ucap Rico gugup.
” Ini semua adalah salahmu.” Ucap Sasti bergetar mencobs menahan amarah.
” A . .a . .apa?”
” Kau tahu Ric, SEHARUSNYA AKU TAK MENGIKUTI SEMUA YANG KAU KATAKAN. Seharusnya aku tak pernah bermimpi menjadi seorang dokter, seharusnya aku tak pernah belajar bersama Kak Radit.”
” Tapi ka . . ”
PLAKK, sebuah tamparan keras mendarat dipipi kiri Rico.
” Dia saudaraku satu – satunya Ric, dan seharusnya Ia tak terbaring disana. Dan aku memang tak pantas menjadi seorang dokter, aku IPS, miskin, bodoh, lalu apa yang aku miliki?” tanya Sasti menggantung
” Hanya dia yang aku miliki.” Jawab Sasti sambil menunujuk ruangan tempat Fasti ditangani.
” Sekarang. PERGI!! PERGI DARI SINI!!” usir Sasti yang terlihat tak main – main. Radit yang dari tadi diam saja mencoba menenangkan Sasti dan meminta Rico pergi dengan isyarat matanya.

~~$$~~

5 Tahun kemudian . . .

” Aduh Sas, kamu itu bodoh atau gimana sih? Masa kuis kayak gini aja, kamu cuma dapat C?” tanya Fasti heran pada kembarannya itu.
” Mau gimana lagi, emang dapatnya segitu kok!” jawab Sasti lemah
” Kalu kayak gini, bisa – bisa kamu nggak lulus - lulus.” Hardik Fasti
” Udah nggak salah Sasti dong, Sasti kan sudah berusaha.” Ucap Radit membela Sasti. Sasti tersenyum karena merasa dibela.
” Kau itu selalu membelanya!!”
” Aku kan cuma . . . ”
” Cari muka?” tanya Fasti retoris
” He he he . . .” Radit salah tingkah, mendapat serangan seperti itu.
“ Ya sudah , ayo kita pergi. Biarin Sasti belajar.” Ajak Fasti dan menekankan kalimat terakhir sambil melotot pada Sasti.

Lima tahun berlalu dan semuanya sudah berubah. Dulu Sasti kira Ia tak akan pernah bisa menjadi seorang mahasiswa kedokteran tapi lihat dimana dia sekarang Ia menjadi salah satu mahasiswa di salah satu Universitas ternama di Indonesia. Yah, walaupun sempat menunda kuliah selama setahun untuk mencari beasiswa tapi itu tak jadi soal karena Sasti mendapat dukungan penuh dari kembarannya Fasti.
Setelah kecelakaan itu Fasti sadar bahwa tak seharusnya Ia bersikap seperti itu pada Sasti. Toh Ia juga sebenarnya tak ingin bersama Sasti karena Ia takut akan mengalami sesuatu yang lebih sakit jika statu hari mereka akan berpisah. Dan sekarang Fasti bekerja di Rumah Sakit ternama di kota itu
Ternyata Radit adalah teman kuliah Fasti dan sejak pertama kali melihat Fasti di kampus Ia sudah menaruh hati pada gadis itu, tapi Fasti tetap dingin padanya. Radit tahu bahwa ternyata Fasti itu kembar dan kembarannya adalah Sasti sahabat Rico. Karena itu Radit mau membantu Sasti belajar, cari muka gitu maksudnya.
Sasti tahu dari Radit beberapa bulan yang lalu, kalau ternyata beasiswa yang ia dapatkan 4 tahun yang lalu ternyata dari usaha Rico. Dan saat Sasti mengusir Rico dirumah sakit sebenarnya Rico sedang sakit, dan Rico datang ke cafe siang itu untuk menjelaskan semuanya pada Fasti tapi dia terlambat. Dan ketika Sasti mengusirnya keadaan Rico jadi jauh lebih parah selama seminggu dia tak bisa bangun dari tempat tidur, Dia cinta sama kamu sejak dulu. Dia berusaha keras mencari beasiswa agar kamu bisa meraih mimpimu, Ia tak pernah tahu kata menyerah kalau menyangkut soal kamu. Dia terluka saat melihat kedekatan kamu dengan Radit, tapi Ia tak berbuat apa – apa karena kamu bahagia. Dia cuma ingin melihat kamu tersenyum, Ia tak pernah berharap balasan cinta dari kamu, Sas. Tapi kalau Tante boleh minta, maafkan dia. Dia hanya mencintai kamu dengan cara yang Ia pikir benar.”  Kata – kata Tante Rina selalu terngiang dikepalanya.
Sasti memang berpikir Ia menyukai Kak Radit, tapi saat Rico pergi dari hidupnya. Ia sadar Rico-lah yang Ia cintai. Ia kesepian saat tak mendengar suara Rico, Ia diam saat tak melihat senyum Rico, Ia sendiri saat tak bersama Rico. Rico pergi ke Yogyakarta untuk kuliah di UGM jurusa tekhnik mesin dan 1 tahun yang lalu Ia pergi ke Jepang untuk bekerja setelah mendapat rekomendasi dari pihak kampus. Sasti terlambat ke bandara dan baru tahun depan Rico kembali lagi.
Ia memeluk lututnya dan menangis dalam diam menyesali kebodohannya,
“ Dulu bengong, sekarang hobinya nangis.” Ucap sebuah suara yang sangat ia kenal di depannya. “ Rico bahkan sekarang aku bisa mendengar suaramu, aku merindukanmu . . tapi tunggu . .” Sasti langsung mengangkat kepalanya dan mendapati cowok kerempeng yang Ia kenal dulu sedang duduk didepannya dan tersenyum padanya.
“ Rico, itu kamu?” Tanya Sasti tertahan,
“ Ya iyalah, masa hantu! Nggak dipeluk niy?”
Sasti  tersenyum. Dia melihat cowok didepannya. “ Rico kamu nggak tahu, seberapa besar peran kamu dalam hidupku, Kau membuatku berani bermimpi dan kau juga memberiku cara merain mimpi ini. Rico makasih, terima kasihuntuk semuanya . Dan jangan ninggalin aku lagi,” Ucapnya dalam hati sembari mendengarkan cerita Rico tentang Jepang.
Ai shi teru.” Ucapku singkat tapi mampu membuat cowok didepanku ini terpaku tak bergerak dan memandangku kaget. Aku tersenyum.
“Ok, ucapan itu terasa jauh lebih baik dari sebuah pelukan.
Teman jangan pernah takut bermimpi, walaupun mustahil percayalah kamu bisa.
Dan . . . percayalah Tuhan tahu mana umatnya yang punya tekad kuat dan usaha yang keras.☺ 

never feel it... really,

oke...

kadang gue mikir, sebenarnya apa sih yang gue cari?
apa sih yang gue tunggu?
apa sebenarnya yang menjadi tujuanku?

aku memang masih muda,
banyak yang bilang kalau orang muda labil itu gak masalah...lumrah,
tapi, yang aku alami sedikit berbeda...(well, setiap manusia memang unik-kok---)
aku sudah dewasa...(bukan tubuhnya yang gede maksudku)..terkadang pola pikirku begitu
jauh ke depan dan melihat sesuatu jadi jauh lebih matang dibanding teman-temanku

tapi disisi lain, aku begitu muda dan jujur....gak tahu apa - apa...
ini tentang cinta, ya tentang hal yang satu ini...

sumpah ya, gue nggak tahu harus ngapain ama hal yang satu ini...

kalian tahu? jujur aja niy ya...gue gak pernah yang namanya jatuh cinta ama orang...sumpah!!!
paling cuma sekedar crush, gak lebih...

sometimes , 

Sabtu, 02 Maret 2013

Anger??





Kau pernah merasa marah?
Marah pada keadaan?
Marah atas pilihan yang telah kau ambil?
Marah karena apa yang terjadi tak pernah mendukungmu?
Dan ketika kau sadar tak ada yang bisa kau salahkan?
Kamu sadar tak ada yang bersalah dan bisa disalahkan,
Hanya keadaan yang tak pernah mendukung...tapi,
Kesadaran akan itu, malah membuat masalah menjadi semakin rumit
Dan menyakitkan..
Pernah merasa seperti itu?
I feel that now, with all of the hurt... 

Jumat, 01 Maret 2013

”Aku bisa . . . . Fast”


 
”Aku bisa . . . . Fast” 

Di sebuah jalan berukuran dua meter dengan beberapa lampu jalan yang menerangi beberapa pengendara motor yang lewat. Terlihat seorang gadis berpakaian putih abu – abu yang sedang membawa dua kantong plastik hitam yang berukuran sedang dan sebuah tas slempang di bahu kirinya, memasuki sebuah halaman rumah yang tampak suram yang hanya diterangi lampu yang mungkin hanya berukuran 25 watt. Setelah mengaduk – aduk tas slempang yang ia bawa dan sedikit mengeluh akhirnya ia bisa menemukan apa yang ia cari, sebuah kunci berukuran kecil model kuno sesuai rumahnya dengan sebuah gantungan mickey mouse yang sudah kusam.
Dengan sedikit tergesa ia menuju dapur, setelah menyalakan beberapa saklar lampu utama sehingga terlihat sebagian besar bentuk rumah itu, rumah tua dengan 2 kamar, 1 kamar mandi dan 3 ruang utama yang terdiri dari ruang tamu, dapur dan sebuah ruang yang sepertinya difungsikan sebagai ruang serbaguna karena terdapat banyak barang disana dari yang bekas berkarat sampai yang masih terbungkus plastik.
” Kring . . .kring . . .kring . . .” terdengar suara telepon dari ruang serbaguna itu. Gadis berbaju putih abu – abu itu langsung berlari menuju meja telepon.
            ” Halo . . .” ucap gadis itu
            ” Sasti tolong ambilkan catatan putih dimeja-ku!!” ucap orang diseberang dengan sedikit berteriak atau lebih tepatnya benar - benat berteriak tanpa permisi.
            Karena sedikit terkajut, gadis yang bernama Sasti itupun hanya bisa berkata,
            ” Hah? Apa . .. ” belum selesai ucapannya gadis diseberang sudah memotong ucapannya,
            “ Aduh, bodoh!! Aku bilang ambilkan catatan putih diatas mejaku aku butuh sekarang cepat!!!” bentak gadis diseberang sana.
            “ Iya ... iya tunggu ... aku ...” lagi – lagi gadis diseberang sana sudah memotong ucapannnya lagi , “ Jangan banyak bicara, cepat!!!” teriak gadis itu dengan suara sedikit bergetar seperti menahan marah. Tanpa ba bi bu lagi Sasti langsung melesat ke dalam sebuah kamar yang paling ujung, celingukan Ia mencari catatan yang dimaksud oleh Fasti kakak kembarnya. Akhirnya ketemu, ucap Sasti dalam hati.

~~$$~~

            “ Sasti!!! Kemari cepet!!” teriak Fasti dari kamarnya.
            Sasti yang baru menutup sekitar jam 23.00 tadi, tergeragap bangun dari tempat tidur dan berusaha untuk menyadarkan dirinya, ia menengok jam wekernya, masih jam 03.00 pagi, pikirnya. Tapi belum genap kesadarannya pulih, Fasti sudah berteriak dari kamarnya meminta Sasti untuk cepat datang, membuat Sasti yang belum sepenuhnya sadar segera berlari tanpa melihat ada kursi yang melintang didepannya .......
”BUGHHH!! Aduh . . . ” , suara bedebam benda keras, diikuti dengan suara mengaduh dari Sasti.
” Ada apa, Fas? Kok mas . . .” belum selesai Sasti bicara, Fasti sudah memotong.
“ Setrika semua baju yang ada diatas kasur itu, dan packing semuanya kedalam tas hitam dilemari!” Sasti menatap baju yang ada diatas kasur dan,  hahhh . . . sebanyak itu???, batin Sasti.
“ Apa gak bisa besok ya? Ini kan masih pagi buta. Memangnya kamu mau kemana Fas?” tanya Sasti sedikit memohon.
” Tidak bisa harus sekarang soalnya, nanti jam 04.30 aku sudah harus pergi buat praktek di Sukabumi.” ucap Fasti ringan tapi tegas.
Sasti melihat baju diatas kasur dan membandingkan waktu yang Ia miliki, hahh kalau segini banyaknya dan waktunya cuma ± 1 jam, waduh bisa gak rapi niy bajunya Fasti . . . keluh Sasti tapi cuma dalam hati. Dengan berat hati Sasti pun mengambil semua baju Fasti yang ada di kasur dan membawanya ke ruang tengah untuk disetrika. Belum sampai kakinya melangakah dari kamar Fasti tiba – tiba saudaranya itu bertanya padanya,
” Kamu mau kuliah dimana, Sas?” tanya Fasti tanpa memalingkan mukanya dari laptop Acer-nya.
Sasti yang terkejut dengan pertanyaan itu sedikit tergeragap saat menjawabnya.
            ”Hah? Eh Aku ingin sekali bisa kuliah di kedokteran seperti kamu Fas,” Jawab Sasti lembut, tapi Fasti bisa mendengar ada kesungguhan dalam suara Sasti.
” Heh? Kedokteran? Bukannya kau itu anak IPS-ya? Hehh . . ” ucap Fasti sambil melirik Sasti dari sudut matanya yang membuat Sasti tertekan karena dilihat seperti itu.

~~$$~~

Sasti tak bisa konsen selama mengikuti pelajaran hari itu, padahal ada pelajaran drama kesukaanya. Rico sahabat Sasti menyadari keanehan sahabatnya itu,
” Hai Din, ada apa dengan teman sebangkumu itu? Tumben – tumbenan pelajaran Pak Gio dia diam aja, padahalkan biasanya dia udah kayak cacing kepanasan cari perhatian.” Tanya Rico saat Sasti pergi ke perpustakaan untuk mengembalikan buku yang dia pinjam.
” Mana ku tahu, Ric. Kan yang dekat dengan Sasti bukan aku!” ucap Dina sambil mendelik pada Rico. Rico yang merasa terpojok akhirnya hanya bisa berkata ,
” iya . . . iya . . . Aku akan langsung bicara dengannya!”
” Baguslah, kan yang pacar Sasti itu kamu bukan Aku. He he he . . .” ledek Dina melihat sikap Rico yang sangat peduli dengan Sasti.
“ Apa? Apa kau bilang tadi?” tantang Rico, Dina yang dipelototin kayak gitu langsung kabur keluar kelas. Sedangkan Rico masih bengong ditempatnya memikirkan ucapan Dina sampai Ia memutuskan untuk pergi mencari Sasti.
Rico bukan orang yang bisa dibilang tampan tapi Ia mempunyai otak yang cukup encer di jurusan IPS ini. Dia terkenal dekat dengan Sasti sampai terdengar kabar bahwa mereka mempunyai hubungan yang khusus. Rico sendiri tidak ambil pusing karena ”Siapa coba yang gak mau di gosipin sama cewek cantik macam Sasti.” Begitu prinsip Rico. Tapi sebenarnya Rico memang menyimpan sedikit rasa pada gadis cantik berambut gelap itu. Ya, walaupun dia tahu bahwa perasaanya itu tak terbalas karena setiap kali Rico menyinggung hal itu didepan Sasti pasti anak itu akan tertawa dan tak pernah menganggap ucapan Rico sebagai sesuatu yang serius.

” SASTI, ayo lagi ngelamunin aku ya?” teriak Rico mencoba mengagetkan Sasti, yang berada di bangku taman sekolah sekembalinya dari Perpustakaan. Tapi bukannya tawa renyah dari Sasti yang Ia dengar tapi malah pelototan dan kepalan yang ia dapat. Melihat reaksi Sasti yang seperti itu membuat Rico sadar bahwa sahabatnya yang satu itu sedang tidak enak hati.
” Heh, maaf. Kamu kenapa sih Sas? Tidak biasanya kamu diam aja waktu pelajaran Pak Gio, terus kamu juga cemberut terus dari tadi? Cerita dong kalau ada masalah Sas.” ucap Rico pelan, tapi Sasti bisa mendengar kesungguhan dari suaranya.
” Menurut kamu, mimpi aku jadi seorang dokter itu mustahil ya?” ucap Sasti lirih....

wait the next one...